Pidato Ilmiah Ketua PPNI Jawa Tengah dalam rangka Pelantikan Pengurus PPNI Kabupaten Sukoharjo
KEBIJAKAN PENGEMBANGAN KEPERAWATAN DAN LINGKUNGAN KERJA POSITIF DI JAWA TENGAH
Oleh : Ns. Edy Wuryanto, M.Kep.
Ketua PPNI Jawa Tengah.
1. Yang Terhormat Bupati Sukoharjo.
2. Yang Kami Hormati Ketua DPRD Kabupaten Sukoharjo.
3. Yang Kami Hormati Kepala Dinas Kesehatan dan seluruh Muspida Kabupaten Sukoharjo
4. Yang Kami Hormati Para Pimpinan Rumah Sakit, Perguruan Tinggi, Organisasi Profesi Kesehatan di Kabupaten Sukoharjo.
5. Yang Kami Hormati Ketua PPNI Kabupaten Sukoharjo dan Kabupaten Tetangga se Eks Karisidenan Surakarta.
6. Yang Kami Hormati Para Pengurus PPNI Sukoharjo, yang lama maupun yang baru terpilih/dilantik.
7. Para Tamu Undangan, warga perawat dan mahasiswa yang berbahagia.
Assalamu’alaikum wr.wb.
Selamat Pagi, dan
Salam Sejahtera.
Atas nama Pengurus PPNI Jawa Tengah, saya merasa bersyukur atas semua nikmat yang diberikan Allah SWT sehingga dapat menghadiri dan memberikan Pidato Ilmiah dalam Pelantikan Pengurus PPNI Kabupaten Sukoharjo Periode 2010-1015.
Hadirin yang berbahagia,
Sebagai suatu profesi, sejarah perkembangan keperawatan di Indonesia berasal dari Eropa Kontinental, khususnya Belanda. Pelayanan keperawatan di Belanda berakar dari pelayanan biarawati (suster) dalam pemberian pelayanan kemanusiaan. Pendidikan keperawatan tidak berkembang melalui Perguruan Tinggi tetapi Pendidikan di Gereja. Baru pada tahun 1970, profesi dan pendidikan keperawatan baru berkembang baik. Terlambat jauh bila dibandingkan dengan negara-negara Commonwealth. Di Inggris, sejak tahun 1869 Florence Neightingale telah mengembangkan keperawatan melalui universitas (university based), sehingga saat ini standar pendidikan dan pelayanan keperawatan di negara-negara Commonwealth sangat maju.
Doktrin keperawatan di Belanda ternyata sangat berpengaruh terhadap perkembangan pelayanan keperawatan di Indonesia dimana perawat didesain untuk membantu dokter sehingga perawat tidak membutuhkan jenis dan jenjang pendidikan tinggi keperawatan. Akibatnya, kita mengalami keterlambatan dalam pengembangan keperawatan dan pendidikan keperawatan. Padahal, Indonesia dikelilingi oleh negara-negara Commonwealth, Australia, Singapura, Malaysia, Filiphina dan India. Doktrin negara-negara Commonwealth mengakibatkan perkembangan profesi dan pendidikan keperawatan di negara-negara tersebut lebih maju dan berstandar internasional sehingga wajar bila Filiphina dan India menguasai pemenuhan kebutuhan perawat di negara-negara maju akibat krisis kekurangan tenaga perawat. Bagaimana dengan perawat Indonesia? hanya sebagian kecil dan tidak terregistrasi secara internasional. Oleh karena itu, secara umum daya saing pelayanan keperawatan dan sumber daya manusia (SDM) perawat Indonesia tergolong rendah.
Hadirin yang berbahagia,
Kondisi rendahnya daya saing keperawatan di berbagai hal menjadikan PPNI Jawa Tengah terus berusaha untuk membangun keperawatan di masa mendatang yang kokoh, maju dan setara dengan profesi lain. Oleh karena itu, PPNI Jawa Tengah menetapkan empat pilar penting yaitu, pertama, peningkatan kualitas praktek (quality practice); kedua, peningkatan kualitas SDM (quality graduate/nurse); ketiga, peningkatan kualitas pendidikan (quality education); dan keempat, penigkatan kualitas sistem (quality system).
Keempat pilar tersebut merupakan quality cascade, artinya kualitas praktek dipengaruhi oleh kualitas SDM. Kualitas SDM dipengaruhi oleh kualitas pendidikan. Kualitas pendidikan dipengaruhi oleh kualitas sistem secara luas. Oleh karena itu, membangun keperawatan tidak dapat dilakukan sendiri oleh warga perawat dan organisasi PPNI, tetapi harus melibatkan Pemerintah, masyarakat dan stake holder yang lain.
Hadirin yang berbahagia,
Pilar pertama, Peningkatan Kualitas Praktek Perawat.
Praktek keperawatan merupakan inti dari eksistensi keperawatan karena profesionalisme keperawatan sangat tergantung pada baik buruknya pelayanan keperawatan. Tetapi berbagai masalah yang berhubungan dengan tenaga keperawatan dan pelayanan keperawatan dilaporkan oleh WHO (2006) adalah kekurangan jumlah perawat, ketidakpuasan kerja perawat dan buruknya lingkungan kerja perawat. Kekurangan jumlah perawat terjadi di banyak negara. Australia mengalami kekurangan perawat (Eley et al., 2007). Di Inggris, sepertiga perawat baru tidak melakukan registrasi yang dipersyaratkan untuk memperoleh lisensi kerja sehingga terjadi kekurangan perawat di tempat kerja (Baumann, 2007). Sedangkan di Indonesia, sampai tahun 2010 masih membutuhkan sekitar 276.049 perawat (Depkes, 2006). Kekurangan jumlah tersebut belum bisa dipenuhi sehingga banyak rumah sakit di Indonesia mengeluhkan beban kerja perawat yang tinggi sehingga mempengaruhi kualitas pelayanan keperawatan.
Hadirin yang berbahagia,
Ketidakpuasan kerja perawat ditemukan data bahwa lebih dari 40% perawat mengalami ketidakpuasan kerja dan 33% perawat berumur kurang dari 30 tahun bermaksud keluar dari pekerjaan mereka (Aitken et al., 2001 dalam Patricia, 2002). Di Amerika Serikat, Kanada, Inggris, Jerman menunjukkan bahwa 41% perawat di rumah sakit mengalami ketidakpuasan dengan pekerjaannya dan 22% diantaranya merencanakan meninggalkan pekerjaannya dalam satu tahun (Baumann, 2007). Penelitian di Indonesia oleh Setyawan (2002) menemukan bahwa kebanyakan perawat berada di kepuasan kerja rendah, Ningtyas (2002) 55,8% perawat di rumah sakit pemerintah mengalami kepuasan kerja rendah, dan Wuryanto (2010) 47,1% perawat mengalami kurang puas dalam bekerja. Padahal ketika perawat memperoleh kepuasan dalam bekerja maka perawat tersebut akan berusaha semaksimal mungkin dengan segala kemampuan yang dimilikinya untuk menyelesaikan tugas-tugasnya dengan baik (Azis, 2001).
Hadirin yang berbahagia,
Salah satu penyebab utama kurangnya kepuasan kerja perawat adalah buruknya lingkungan kerja perawat yang berpengaruh terhadap kualitas praktek perawat. Lingkungan kerja positif mampu mempengaruhi, mendorong dan memberikan motivasi bagi perawat untuk bekerja secara optimal sesuai dengan standar profesinya sehingga tercapai kepuasan dalam bekerja. Saat ini, International Council of Nursing (ICN) mendorong seluruh pelayanan keperawatan agar lebih memperhatikan lingkungan kerja perawat, khususnya dalam hal : 1) kualitas kepemimpinan keperawatan; 2) struktur organisasi; 3) kualitas manajemen; 4) program dan kebijakan ketenagaan; 5) pengembangan profesional perawat; 6) model asuhan keperawatan profesional; 7) otonomi keperawatan; 8) hubungan interdisiplin profesi kesehatan; dan 9) sarana dan peralatan yang mencukupi (ANCC, 2008).
Hadirin yang berbahagia,
Pentingnya lingkungan kerja yang positif dalam peningkatan kualitas pelayanan keperawatan menginspirasi PPNI Jawa Tengah mengangkat tema “Positive Practice Environment” dalam Peringatan International Nurses Day, 12 Mei 2011. PPNI Jawa Tengah mengkampanyekan, pertama, Perbaikan Kualitas Kepemimpinan. Kepala keperawatan diharapkan menggunakan kepemimpinan transformasional dalam menjamin lingkungan lingkungan kerja positif, yaitu seorang pemimpin yang berpengetahuan luas, memiliki pengembangan visi dan filosofi yang kuat, mengembangkan perencanaan strategik, memiliki posisi strategis dalam organisasi dan menggunakan model praktek profesional. Kepala keperawatan harus mampu menyampaikan harapan-harapan, mengembangkan kepemimpinan dan menyusun organisasi untuk memenuhi kebutuhan saat ini dan yang akan datang, serta menyampaikan keinginan kuat untuk membantu kepentingan perawat dan pasien.
Kedua, Struktur Organisasi. Lingkungan organisasi pelayanan kesehatan harus lebih melibatkan perawat dalam pengaturan diri (self goverment), struktur pengambilan keputusan, proses penentuan standar praktek dan masalah-masalah keperawatan. Seluruh pimpinan keperawatan harus menjalankan fungsi konsil atau komite keperawatan dan melaksanakan tugas untuk meningkatkan pelayanan keperawatan prima (excellent in patient service) dan kemanan, efisiensi dan efektifitas dalam pelaksanaan di organisasi. Oleh karena itu, struktur organisasi harus didesain yang menekankan desentralisasi, fleksibel dan pengaturan diri yang mampu meningkatkan kepuasan kerja perawat.
Ketiga, Kualitas Manajemen, organisasi keperawatan diharapkan menggunakan gaya manajemen partisipasif dengan melibatkan umpan balik dari seluruh staf keperawatan, manajemen harus mendorong seluruh staf perawat untuk memberikan umpan balik dan masukan sehingga pelayanan keperawatan dapat diterima dan meningkatkan komunikasi.
Hadirin yang berbahagia,
Keempat, Program dan Kebijakan Ketenagaan. Program dan kebijakan ketenagaan yang diterapkan oleh organisasi pelayanan kesehatan harus meningkatkan kepuasan perawat dan dapat diterapkan pada tingkat individu dan organisasi. Program dan kebijakan tersebut menyangkut gaji perawat, beban kerja dan rotasi kerja, model ketenagaan serta adanya peluang promosi. Pada tingkat individu, perawat harus memperoleh gaji yang cukup dan kompetitif untuk pengembangan kehidupan profesional mereka. Beban kerja disesuaikan dengan jumlah dan tingkat ketergantungan pasien sehingga memungkinkan memberikan pelayanan sesuai standar kompetensi dan profesi keperawatan. Rotasi kerja shift pagi, sore dan malam hari juga harus sesuai dengan standar pengaturan jadwal sehingga perawat memiliki waktu yang cukup untuk istirahat dan pemeliharaan kesehatan mereka.
Kelima, Pengembangan Profesional Perawat. Organisasi pelayanan keperawatan harus serius dalam mengembangkan program pembelajaran seumur hidup, pengembangan peran dan jenjang karier perawat dan pemberian tunjangan fungsional (jasa pelayanan) perawat sesuai dengan jenjang kariernya. Setiap pelayanan kesehatan, khususnya rumah sakit harus mulai menerapkan sistem jenjang karier yang telah ditetapkan oleh PPNI dan Pemerintah. Masing-masing jenjang karier mulai dari perawat pemula (beginner) sampai perawat ahli (expert) harus diikuti dengan pelatihan dan uji kompetensi. Dengan demikian terdapat jaminan kepastian karier perawat dan sistim penghargaan (reward system) antara perawat pemula dan senior.
Hadirin yang berbahagia,
Keenam, Model Asuhan Keperawatan. Tujuan utama pelayanan keperawatan adalah pemberian asuhan keperawatan yang berkualitas dengan biaya yang efisien (low-cost care), peningkatan hasil dan kepuasan pasien. Tujuan tersebut dapat dicapai bila model asuhan keperawatan yang digunakan sesuai dengan proses dan struktur organisasi pelayanan kesehatan. Oleh karena itu, keperawatan harus melakukan terobosan-terobosan baru dalam pengembangan sistim asuhan dan manajemen keperawatan.
Ketujuh, Otonomi Keperawatan. Perawat harus memiliki kebebasan, inisiatif dan kemandirian yang berhubungan dengan pekerjaannya secara penuh dalam melaksanakan aktifitas rutin. Perawat diharapkan praktek secara otonom, konsisten dengan standar profesional, menggunakan keputusan independen dalam pendekatan tim multidisiplin.
Kedelapan, Hubungan Interdisiplin Profesi Kesehatan. Masalah hubungan interdisiplin, khususnya dengan dokter disebabkan oleh berbagai faktor seperti perbedaan jenis kelamin, status sosial ekonomi, kurangnya pengertian dan simpati, serta perselisihan saat perawat berusaha meningkatkan tanggung jawab profesionalnya (Nili, 2007). Dalam lingkungan kerja positif, perawat harus memiliki hubungan interdisiplin yang positif, saling menghormati diantara semua disiplin ilmu dan profesi kesehatan. Hubungan perawat, dokter dan tenaga kesehatan lain merupakan hubungan kolektif di tempat kerja yang mempengaruhi konflik hubungan interpersonal dan kepuasan kerja.
Kesembilan, Sarana dan Peralatan. Pesatnya perkembangan ilmu dan teknologi keperawatan membutuhkan sarana dan peralatan yang cukup. Tidak dibernarkan perawat bekerja dengan peralatan sederhana dalam jumlah yang terbatas sehingga menyulitkan pemenuhan kebutuhan dasar manusia. Keterbatasan alat-alat seperti pispot, alat-alat memandikan dan mencuci rambut mengakibatkan kebutuhan mandi, keramas pasien terabaikan. Padahal kebutuhan dana untuk peralatan keperawatan tidak semahal peralatan kedokteran. Oleh karena itu, kesadaran manajemen organisasi pelayanan kesehatan sangat penting untuk memenuhi standar sarana dan peralatan keperawatan sehingga mendukung perawat melakukan pekerjaan sesuai dengan standar profesi.
Hadirin yang berbahagia,
Pilar Kedua, Peningkatan kualitas SDM.
Kualitas praktek perawat sangat dipengaruhi oleh kualitas SDM Keperawatan. Sumber daya manusia keperawatan merupakan faktor terpenting dalam pelayanan kesehatan, karena di hampir setiap negara, hingga 80% pelayanan kesehatan diberikan oleh perawat (Baumann, 2007). Swansburg (2000) mengatakan bahwa 40%-60% sumber daya manusia di rumah sakit adalah tenaga keperawatan. Menurut Depkes RI, (2006) sebanyak 40% pemberi pelayanan kesehatan di Indonesia adalah tenaga keperawatan. Oleh karena itu pelayanan keperawatan merupakan indikator baik buruknya kualitas pelayanan rumah sakit (Alkatiri, 1999; Aditama, 2002).
Sebagai pemberi pelayanan kesehatan terbesar, keperawatan di Indonesia sedang fokus pada pengembangan kualitas SDM Keperawatan menuju tatanan perawat sebagai profesi. Perawat sebagai profesi membutuhkan pendidikan dasar yaitu pendidikan akademik profesional, seperti pendidikan dokter, dokter gigi, apoteker bahkan profesi guru/dosen. Namun demikian kondisi saat ini sebagian besar perawat adalah perawat vokasional. Hasil penelitian Wuryanto (2010) menemukan bahwa sebagian besar tingkat pendidikan perawat di Rumah Sakit Pemerintah adalah DIII Keperawatan (84,9%), S1 Keperawatan (9,8%) dan Ners (5,3%).
Kondisi tersebut membutuhkan perjuangan berat untuk meningkatkan kualifikasi akademik perawat agar setara dengan profesi lain. PPNI Jawa Tengah mengangkat masalah kualitas SDM Keperawatan sebagai issue utama dalam membangun keperawatan sehingga diharapkan pada tahun 2015 sebagian besar perawat adalah Ners. Oleh karena itu, sebagian besar perawat masih harus melanjutkan ke jenjang Ners dan Spesialis atau Konsultan.
Hadirin yang berbahagia,
Pilar Ketiga, Peningkatan Kualitas Pendidikan
Di Indonesia terdapat terdapat 1.012 Program Studi Keperawatan, terdiri 700 Diploma III, 306 Ners, 5 Magister dan Spesialis serta 1 Program Doktoral. Setiap tahun meluluskan sekitar 40.000 perawat baru. Di Jawa Tengah, terdapat sekitar 40 Institusi DIII Keperawatan dan 25 Pendidikan Ners. Total sekitar 65 Perguruan Tinggi Keperawatan. Dari sisi kuantitas, jumlah tersebut sangat membanggakan karena menunjukkan minat masyarakat yang sangat tinggi terhadap pendidikan keperawatan. Hampir setiap Kabupaten/Kota memiliki Perguruan Tinggi Keperawatan. Tetapi dari sisi kualitas, kondisi tersebut sangat mengkawatirkan karena beberapa alasan. Pertama, Indikator Akreditasi BAN-PT. Sebagian besar belum terakreditasi BAN-PT, sebagian kecil yang telah terakreditasi. Dari yang terakreditasi sebagian besar terakreditasi C, sebagian kecil terakreditasi B dan belum ada yang terakreditasi A. Padahal Akreditasi merupakan wajah baik buruknya perguruan tinggi. Bahkan, pada tahun 2012 pemerintah telah melarang perguruan tinggi yang tidak terakreditasi mengeluarkan ijazah.
Kedua, Indikator Kualitas Dosen. Data dari Asosiasi Perguruan Tinggi Kesehatan Swasta Indonesia pada akhir 2010 menunjukkan bahwa sebagian besar dosen berpendidikan sarjana (81%) dan diploma (5%), sebagian kecil magister (14%) dan belum ada yang doktor. Padahal UU Guru dan dosen telah menuntut maksimal 2012 seluruh dosen harus magister. Disisi lain, karier dosen yang menunjukkan karya dalam Tri Darma Perguruan Tinggi adalah sebagian besar belum memiliki jabatan fungsional (88%), sebagian kecil asisten ahli (11%) dan lektor (1%). Belum ada yang lektor kepala, apalagi guru besar. Hal ini menunjukkan bagaimana kualitas dosen dalam mengawal mutu PT.
Oleh karena itu, PPNI Jawa Tengah menetapkan bahwa pada Tahun 2012 seluruh Perguruan Tinggi Keperawatan harus terakreditasi BAN-PT dan pada Tahun 2015 seluruh dosen harus magister dan doktoral. Dengan demikian mutu perguruan tinggi dan kualitas lulusannya meningkat.
Hadirin yang berbahagia,
Pilar Ketiga adalah Peningkatan Kualitas Sistem.
Peningkatan kualitas praktek, kualitas sumber daya manusia dan kualitas pendidikan harus didukung oleh sistem yang baik. Peran Pemerintah, Pimpinan Perguruan Tinggi, Masyarakat dan organisasi profesi sangat penting dalam mendukung pengembangan keperawatan di masa yang akan datang. Oleh karena itu, kerjasama yang baik antara stake holder keperawatan dan peran PPNI sangat strategis dalam posisi tersebut.
Mengakhiri pidato ini, Segenap Pengurus PPNI Jawa Tengah mengucapkan Selamat kepada Ketua dan Pengurus PPNI Kabupaten Sukoharjo, semoga menjadi pemimpin yang amanah dan bertanggung jawab serta membawa kemajuan bagi perkembangan keperawatan di Kabupaten Sukoharjo.
Wassalamu’alaikum wr.wb.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Adam A., & Bond S., (2000). Hospital nurses’s job satisfaction, individual and organizatonal characteristics. Journal of Advanced Nursing, 32(3), 536-543.
Adams E., and Kennedy A., (2006). Positive Practice Environment, Key Considerations for The Development of a Framework to Support The Integration of International Nurses, http://www.icn.ch/matters_ppe.htm 24 Januari 2010, jam 08.00.
Aiken L.H., Havens D.S., & Sloane D.M., (2000). (Aiken L.H., Havens D.S., & Sloane D.M., 2000). The magnet nursing services recognition program: A comaration of two groups of magnet hospitals. American Journal of Nursing, 100(3), 26-36.
Aiken L.H., Sloane D.M., & Lake E.T., Sochaski J., & Weber A.L., (1999). Organization and outcomes of inpatient AIDS care, Medical Care, 37(8), 760-772.
Aiken L.H., Sloane D.M., Kloncinski J.L., (1997). Hospital nurses’occupational exposure to blood: prospective, retrospective, and institutional report. American Journal of Public Health, 87, 103-107.
Aiken L.H., Smith, H.L., & Lake, E.T. (1994). Lower Medicare mortality among a set of hospitals known for good nursing care. Medical Care, 32(8), 771-787.
Aiken, Clarke, Sloane, Sochalski & Silber (2002). Hospital Stafing, Organizatioal Support & quality of care : cross-national finding. International Journal for Quality in Health Care, 14(1), 5-13.
Alkatiri S., (1999), Manajemen dan Akutansi Rumah Sakit, Jakarta: PT Sinar Bahagia.
American Nurses Credentialing Center (ANCC) (2008), Aplication Manual Magnet Recognition Program: Georgia.
Baumann A. (2007), Positive Practice Environment: Quality Workplaces = Quality Patient Care, International Council of Nurses, http://www.icn.ch/matters_ppe.htm 24 Januari 2010, jam 08.00.
College of Registered Nurses of British Columbia (CRNB), Guidelines for A Quality Practice Environment for Nurses in British Columbia, https://www.crnbc.ca/downloads/409.pdf, 24 Januari 2010, jam 08.00.
Cortese CG. (2007) Job Satisfaction of Italian Nurses: An Explanatory Study, Journal of Nursing Management 15, 303-312.
Curtis E.A. (2007) Job Satisfaction: A Survei of Nurses in the Republic of Ireland. International Nursing Review 54, 92-99.
Eley R. Buikstra E., Plank A., Hegney D., and Parker V. (2007) Tenure, Mobility and Retention of Nurses in Queensland, Australia: 2001 and 2004, Journal of Nursing Management 15, 285-293.
Gillies, D.A, (1996). Nursing Management A System Approach 3ed. Phyladelphia: WB Saunders Company.
Havens D.S., & Aiken, L.H. (1999). Shaping systems to promote desired outcomes: The magnet hospital model. JONA, 29(2), 14-20.
Havens D.S., (2001). Comparing nursing infrastructure and outcome: ANCC magnet and nonmagnet CNEs report. Nursing Economic, 19(6), 258-266.
Nili T (2007), Relationship between how nurses resolve their conflicts with doctors, their stress and job satisfaction, Journal of Nursing Management, 15, 321-331.
Ningtyas (2002). Studi Komparatif Hubungan Iklim Kerja dengan Kepuasan Kerja Perawat Pelaksana di Rumah Sakit Pemerintah dan Rumah Sakit Non Pemerintah di Mojokerto Jawa Timur 2002. Tesis Pasca Sarjana FIK UI, tidak dpublikasikan.
Setyawan (2002), Hubungan Model Penatalaksanaan Konflik oleh Kepala Ruangan yang Dipersepsikan Perawat Pelasana dengan Kepuasan Kerja Perawat Pelaksana di Instalasi Rawat Inap Unit Swadaya Daerah Rumah Sakit Cibatat Cimahi Tahun 2002. Tesis Pasca Sarjana FIK UI, tidak dpublikasikan.
Swansburg, R,C. & Swanburg R.J. (2000). Introductory Management and Leadership for Nurses (2ed edition). Toronto: Jones and Bartlett Publisher.
WHO (2002), Strategic Direction for Strengthening Nursing and Midwefery Sevices, Genewa: WHO.